Hari ini tiba-tiba saja saya ingin menuliskan tentang
Bapakku. Kenapa Bapak?, entahlah..
Sejak kecil bapak yang kami berempat bersaudara memanggil
beliau dengan istilah Puang, karena Bapak yang memintanya. Istilah ini
sebenarnya tidak lazim di kalangan masyarakat luas. Namun, karena kami sangat
sayang dan sebagai penghargaan kepada beliau, kami sebagai anak-anaknya
memanggilnya demikian. Kata Bapak, Puang itu berasal dari nama sebuah wadah
seperti piring tempat sirih pinang, dimana tempat sirih pinang ini jika ada
perhelatan raja-raja zaman kerajaan, wadah ini dikeluarkan di depan raja. (Panggilah seseorang dengan panggilan yang ia
senangi… lupa apakah ini ayat Al-Qur’an atau Hadist Rasulullah J )
Panggilan ini, selain kepada Bapak, juga disematkan kepada paman atau bibi. Di Sulawesi selatan, ada beberapa panggilan kepada Bapak, yang tidak lazim seperti Opu (Biasanya di daerah Palopo), E’tta atau Tetta. Namun, sebagian besar masyarakat memanggil bapak mereka dengan panggilan Bapa’ atau ayah, lazimnya di daerah-daerah lain. Tidak ada aturan yang mengaturnya, jadi terserah, semuanya sah-sah saja sepanjang tidak ada yang tersinggung. J
Di saat setelah shalat maghrib, tiba-tiba nada smsku berbunyi, ternyata dari kakak yg di mks, isi pesannya membuatku tergugu menangis “Mung, Saya sekarang di tengah pesta pernikahan keluarga.. Tuami Puang di’ “. Ya Allah, air mata ini meleleh membacanya, tangan ini bergetar menuliskan kalimat-kalimat ini mengingat usianya yang sudah begitu renta.
Bapak, sosok yang keras, tegas dan jika ada keinginannya
mesti dilaksanakan. Namun, dibalik itu semua, beliau sangat sayang keluarganya.
Beliau senang mencari dan bersilaturrahim dengan family-family yang tersebar
dari sabang sampai merauke, ke luar negeri pun beliau kunjungi (untungnya masih
di negeri seberang.. J ). Teringat ketika saya sedang
sakit, dengan sabar beliau mengipas dan mengatakan “Jika sakitmu Nak bisa
dipindah, biar saya saja yang rasakan (September, 7th 2012).” Heh..
jadi ingin nangis. L
Ketika saya masih bersekolah, beliau senang bercerita
tentang masa kecilnya, guru-gurunya, kisah-kisah kerajaan Bone dan silsilahnya,
dan masih banyak lagi (saya sudah lupa). Kisah yang paling saya ingat, keika
berjalan tanpa alas kaki ke sekolah, tiba-tiba ada pesawat melintas di langit.
Di saat itu, Puang membenak “Saya akan bisa naik itu, sambil menunjuk ke atas”.
Pada akhirnya, mimpi itu menjadi kenyataan, beliau bisa terbang ke Jakarta
dengan Pesawat J (di zaman itu Pesawat adalah
kendaraan langka untuk masyarakat biasa). Yah, itulah kekuatan sebuah mimpi,
kekuatan sebuah keyakinan.
Nasehat beliau kepada keempat anaknya :
“kepada semua anakku, Puang ingatkan bahwa
takutlah kepada Allah SWT, Jangan tinggalkan shalat. Siksaan Allah SWT hari
kemudian sangat pedih. Jangan berleha-leha karena kesenangan dunia yang sangat
sedikit dan tidak kekal dibanding Surga kelak. Dan percayalah ada hari akhirat
yang lebih hebat daripada dunia. Dan dunia ini hanya bayangan saja dari
akhirat.Jangan kamu tertipu oleh dunia yang sementara. Kita tidak dapat
menghitung nikmat yang diberikanNYA.
Insya Allah bulan Juli tahun ini umurku sudah 69
tahun berarti ajalku yang semakin dekat, maka sekarang Puang melatih mati,
sehingga tidak takut mati. Antara lain
selalu ingat kematian, taubat, bagaimana dapat shalat khusyuk, minta ampun atas
dosa yang pernah Puang lakukan. Dan memohon juga pada Allah SWT agar Puang dan
Mama sempat menunaikan ibadah haji”. Amiiiin….
Amiiin… Amiiiin Yaa Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar