Senin, 19 Desember 2011

Apalah Arti Sebuah Nama

“Hai, boleh kenalan ?, namaku risna (sambil menyunggingkan senyum manisnya) menyapaku yang lagi duduk seorang diri di sebuah bangku sekolah pertamaku.
Saya pun menoleh, juga memberikan senyum paling manisku (versi diriku, :)), berkata,
“boleh, namaku Ummung, We Ummung Darwis”.
Dengan wajah berkerut, mata menyipit, alis dikernyitkan (mungkin antenna pendengaran juga di pasang baik2), bertanya balik,
“Siapa ?” (Saya pun menyebutkan namaku sambil dieja W e U m m u n g D a r w i s).
“Apa itu “WE” ?,
Saya pun tersenyum dan berkata “Apalah Arti Sebuah Nama”

Hal itu terus berulang, setiap kali saya bertemu dan berkenalan dengan orang baru, pasti begitu. Dan belum pernah ada orang yang bisa menyebut namaku pertama kalinya dengan betul.
“Nama” itu sangat berarti, tidak ada di dunia ini yang tidak punya  nama, semuanya punya nama, mulai dari yang kecil sampai yang paling besar. Dan kita semua butuh nama

Nama We Ummung diberikan kepadaku oleh seorang Ayah yang sangat cinta kepada anaknya, seorang ayah seluruh hidupnya dikorbankan demi kebaikan anaknya, seorang ayah yang rela selama puluhan tahun berjalan kaki pulang pergi rumah-kantor demi agar anaknya tetap melanjutkan sekolah, seorang ayah yang rela membanting tulangnya di hampir semua umurnya demi kebahagiaan keluarganya, beliau adalah Ayahku yang sangat kusayangi dan kucintai. Beliau bernama Muh. Darwis. Sehingga namaku We Ummung Darwis. Menurut ayahku, WE bisa diartikan perempuan atau bibir.

Nama We Ummung, diambil dari nama Anak Datu Luwu We Ummung Datu Larompong, hasil perkawinan dari PajungE ri Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka dari isterinya yang bernama We Diyo Opu Daeng Massiseng Petta I Takalara.
Dari salah satu sejarah kerajaan bone,  di kala itu  La Tenri Tatta Petta To RisompaE selaku Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Celebes Selatan (sekarang Sulawesi selatan), mempunyai kemenakan yang bernama La Patau Matanna Tikka WalinonoE (anak dari saudara perempunnya yang bernama We Mappolo Bombang Maddanreng Palakka, anak dari hasil perkawinannya dengan La PokokoE Toangkone Arung Timurung). La Patau Matanna Tikka WalinonoE ini yang bakal menggantikannya sebagai Arumpone, disebabkan beliau tidak memiliki keturunan.
Demi mempersatukan TelluE Cappa’ Gala yaitu Kerajaan Besar Bone, Gowa dan Luwu. Oleh karena itu, ia mengawali dengan mengawinkan bakal penggantinya sebagai Arumpone (La Patau Matanna Tikka WalinonoE) dengan searang Anak Datu Luwu bernama We Ummung Datu Larompong
We Ummung Datu Larompong kemudian diangkat menjadi Maddanreng TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) dan seluruh daerah sahabat Bone dalam tahun 1686 M. Untuk Wajo diangkat dua orang berpakaian kebesaran, begitu pula Soppeng, Ajatappareng, Massenrempulu, Mandar PituE Babanna Minanga tiga orang, Kaili, Butung, Tolitoli masing-masing tiga orang. Sedangkan Ajangale’ dan Alau Ale’ masing-masing dua orang.
Adapun perjanjian La Tenri Tatta Petta To RisompaE dengan Datu Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka, adalah,
 ”Apabila La Patau bersama We Ummung Datu Larompong melahirkan anak, maka anaknya itulah yang akan menjadi Datu di Luwu”.
Selanjutnya La Patau Matanna Tikka dikawinkan lagi di Tanah Mangkasar dengan perempuan yang bernama We Mariama (Siti Maryam) Karaeng Patukangang. Anak dari La Mappadulung Daeng Mattimung KaraengE ri Gowa yang juga dinamakan Sultan Abdul Jalil dengan isterinya Karaeng Lakiung. Dalam acara perkawinannya itu, datang semua daerah sahabat Bone menyaksikannya.
Adapun perjanjian Petta To RisompaE dengan KaraengE ri Gowa, pada saat dikawinkannya La Patau Matanna Tikka dengan We Mariama adalah,
”Kalau nantinya La Patau dengan We Mariama melahirkan anak laki-laki, maka anaknya itulah yang diangkat menjadi Karaeng di Gowa”. Oleh karena itu maka hanyalah anak We Ummung dari Luwu dan anak We Mariama dari Gowa yang bisa diangkat menjadi Mangkau’ di Bone. Sementara yang lain, walaupun berasal dari keturunan bangsawan tinggi, tetapi dia hanya ditempatkan sebagai cera’ biasa (tidak berhak menjadi Mangkau’). Kecuali kalau anak We Ummung dan We Mariama yang menunjuknya.”
Aturan yang berlaku di TellumpoccoE dan TelluE Cappa’ Gala adalah -tenri pakkarung cera’E  tenri attolang rajengE (cera’ tidak bisa menjadi Arung dan rajeng tidak bisa menggantikan Arung). Kecuali semua putra mahkota telah habis dan tidak ada lagi pilihan lain.”
(sumber : http://ensiklopediabugismakassar.wordpress.com/2009/06/19/bugis-silsilah-raja-raja-bugis/)

Itulah sekilas asal usul namaku, yang mungkin sebagian orang menganggap aneh dan tidak biasa di telinga. Saya pun kadang merasa aneh sendiri dengan namaku. Ketika masih di bangku sekolah, kadang menyesali diri sendiri (kok bisa yah namaku seperti ini?, kenapa tidak nama lain, kenapa tidak Fatimah, Khadijah, Syifa, Kayla, atau nama lain. Yang menurutku gampang dan enak didengar oleh telinga teman-temanku).
Seiring berjalannya waktu, saya baru sadar bahwa My  name is the best for me. Dan dengan begitu mudah diingat orang karena keanehannya. :) . I’m proud with my name ( WE UMMUNG DARWIS).  Terima kasih  sebesar-besarnya buat kedua orang tuaku (Bapak Muhammad darwis dan Ibu Sitti Hawang).
Bukan Lagi “Apalah Arti Sebuah Nama” tapi “Nama itu sangat berarti”,
Pepatah mengatakan “Harimau mati meninggalkan belang, Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan NAMA”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar