Menjadi guru di
daerah pedalaman Kalimantan (Kab.Nunukan) menjadi pengalaman tersendiri buatku.
Banyak hal baru yang mesti kupelajari,
budaya atau kebiasaan masyarakat
Kalimantan yang mayoritas penduduknya Dayak dan Tidung. Dalam pikiranku, sebelum saya sampai ketempat ini, saya akan menemukan
banyak orang Dayak yang bertelinga panjang seperti yang pernah saya lihat di
TV. Eh, ternyata tak satu pun yang saya temukan. Katanya yang bertelinga
panjang itu bukan disini dan katanya lagi suku Dayak tuh juga banyak macamnya.
Saya hanya bisa ber-ooooo panjang.
Di daerah ini masih kental dengan bau-bau mistis, ada istilah baru dalam kamus kata-kata saya “Kepohonan”, apakah artinya tertimpa pohon atau ketelan pohon, hehehe.. Tentu saja bukan itu. Menurut kepercayaan masyarakat disini, jika kita punya keinginan, entah itu ingin makan sesuatu, minum sesuatu, atau pingin beli sesuatu, kalau hal itu tidak terpenuhi maka tunggu saja dalam beberapa waktu akan ada akibat buruk yang akan menimpa orang tersebut. Jatuhkah, tersenggolkah, keserempet motorkah, dll. Apalagi katanya kalau yang kita inginkan tuh minum kopi atau nasi goreng. Kemungkinan terkena musibah tuh, bisa lebih parah. Ah ada-ada saja pikirku. Tapi hampir mayoritas masyarakat disini sangat percaya, bukan hanya penduduk aslinya tapi penduduk pendatang juga sudah ikut-ikutan percaya akan hal itu. Ada tetangga yang cerita ke saya, karena beliau baru datang dari Jawa, ketika itu ia sedang ngidam anak pertama, tahu sendiri kan orang hamil tuh banyak maunya, mau ini itu. Karena ada istilah “Kepohonan”, makanya temannya rela-rela mencarikan apa yang ia mau. Katanya “takut kepohonan”. Tetangga tadi senyum-senyum sendiri sambil membenak “Enak dong kalau begini terus, kalau kita pengin makan apa-apa, dicarikan… hehehe”. Suaminya jadinya gak perlu repot-repot.
Ada lagi hal aneh yang saya temui disini. Kalau lagi berkeliling kampung dengan motorkah, mobil, sepeda, dll. Jangan coba-coba berani menabrak anjing mereka, tahu kenapa?”. Bisa kena denda jadinya, apalagi kalau anjing mereka sampai mati, wah gawat. Mereka akan menghitung denda berdasarkan jumlah susu anjingnya, taruhlah anjingnya punya susu 8, 1 susunya didenda Rp 500ribu. Jadi, kalau Rp 500ribu X 8 = Rp 4.juta. Wah bisa-bisa 2 bulan tidak terima gaji deh kalau begini. Mau makan apa coba selama 2 bulan itu. Itupun kalau jumlah susunya 8, kalau lebih?, tabungan pun akan ludes. :)
Hukum yang
dipakai disini, selain hukum yang berlaku di Indonesia, masih kental dengan
hukum Adat. Dan kayaknya untuk menyelesaikan permasalahan di antara mereka,
paling banyak yang dipakai adalah hukum Adat. Mereka menentukan mana yang benar
dan salah tuh melalui pengadilan yang mereka istilahkan “Dolop”. Kalau ada yang
mau di dolop, satu kampung turun ke sungai untuk melihatnya. Siswa2 tuh
rela-rela tidak ke sekolah demi melihat perisitwa ini. Menurut cerita Kepala
Sekolahku, pengadilan “Dolop” dilaksanakan di sungai.
Ilustrasinya seperti ini : jika ada dua orang, kita misalkan si A dan si B berselisih paham mengenai suatu barang, misalnya si A menuduh bahwa si B mencuri barangnya si A, tapi si B tidak mengakui perbuatan itu. Namun, karena si A tetap bersikeras bahwa si B lah pencuri barang tersebut. Akhirnya demi keadilan dilaksanakanlah “Dolop” untuk menentukan mana yang benar antara si A atau si B. Kedua orang ini berdiri di dalam sungai sambil kepalanya ditenggelamkan ke dalam sungai. Pengadilan ini dipimpin oleh seorang ketua adat yang berdiri di pinggir sungai, sambil berkomat-kamit membaca mantra-mantra. Lalu dipukulkannya sebuah benda ke dalam sungai. Entahlah apa yang terjadi di dalam sungai, tiba-tiba saja salah satu dari kedua orang tersebut dengan segera mengeluarkan kepalanya dari dalam sungai karena tidak tahan. Katanya sih, karena orang ini bersalah, maka di dalam sungai macam-macamlah yang dilihatnya sampai ia tidak tahan dan langsung keluar dari dalam sungai. Sedangkan yang satunya lagi, karena dialah yang benar maka tidak terjadi apa-apa padanya. Akhirnya, ketahuanlah siapa yang benar dan siapa yang salah. Itulah sekilas mengenai dolop. Wallaahu A’lam bi Shawwab..
Kalau soal kulinernya, masyarakatnya hobi makan “ILUI” dan “EMBUS”. ILui ini terbuat dari ubi kayu/ singkong, prosesnya : ubi kayu yang sudah dikuliti dan bersih diparut/digiling, kemudian diperas dengan saringan kain khusus. Setelah itu, diendapkan beberapa lama sampai semua patinya yang berwarna putih mengendap (kalau menurutku, ini adalah amilumnya/ salah satu senyawa karbohidrat). Cara masaknya ada dua cara : ilui yang sudah jadi ini dimasak dengan air sampai mengental, atau langsung disiram dengan air panas dan diaduk sampai mengental. Ilui yang sudah masak di makan dengan Ikan masak Patina tau sayur masak. Kalau “Embus” sayur yang berasal dari daun singkong, kayaknya sih, seperti sayur “Tettu” dari Sulawesi, supaya lebih enak, sayur ini ditambahkan dengan “Daun Apa”.
Kalau menurutku
ilui ini seperti kapurung (terbuat dari sagu) dari Sul-Sel (makanan khas Palopo),
Cuma kalau kapurung, sayur dan lauk pauknya langsung dicampur. Kalau dimakan
pas panas-panasnya dan pedas. Emmmmh… Delicious.. Tidak lihat sudah mertua
lewat… :) ,
Just Kidding
To Be Continued...
To Be Continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar